Kamis, 12 Juli 2012

Mumtaz Bibi adalah korban kekerasan. Wajahnya disiram air keras.


Looking to the world: Mumtaz Bibi, 16, was disfigured in an acid attack by a man she refused to marry. Today, in Kabul, she epitomised the struggle for women's rights in the country
Looking to the world: Mumtaz Bibi, 16, was disfigured in an acid attack by a man she refused to marry. Today, in Kabul, she epitomised the struggle for women's rights in the country
English banners: Choosing an international language to voice their protest, the banner reads, 'International community! Where is the protection and justice for Afghan women?'
English banners: Choosing an international language to voice their protest, the banner reads, 'International community! Where is the protection and justice for Afghan women?'



Seorang perempuan berkerudung hitam berdiri di barisan depan, memimpin demonstrasi lusinan perempuan di jalanan utama Kabuk, Afganistan. Mereka memprotes eksekusi tembak seorang perempuan yang diduga dilakukan militan Taliban.

Tak seperti sejumlah peserta demo lainnya, ia tak mengenakan cadar. Membiarkan wajahnya yang tak mulus, penuh luka terlihat. Dia adalah Mumtaz Bibi, perempuan muda berusia 16 tahun yang menjadi korban siraman air keras gara-gara menolak lamaran seorang pria.

Bersama demonstran lain, ia ikut berteriak, menuntut kekerasan pada perempuan diakhiri di negaranya.

Gelombang protes muncul di Afganistan menyusul keluarnya video eksekusi pada 8 Juli 2012 lalu, menunjukan adegan mengerikan, seorang perempuan diberondong peluru senapan AK-47 di Provinsi Parwan, utara ibukota Afganistan. Oleh seorang pria yang berdiri dalam jarak dekat.

Polisi Parwan menuduh Taliban di balik pembunuhan itu, namun pihak militan membantah terlibat. Kematian Najiba, perempuan 22 tahun yang diduga terjerat cinta segitiga, memicu kecaman dari dunia internasional.

Protes yang dilakukan 11 Juli 2012 untuk mengingatkan bahwa para gadis dan perempuan masih menjadi sasaran empuk kekerasan di Afganistan, sekaligus indikasi, bahwa pandangan tentang hak-hak perempuan di negara itu perlahan berubah, ke arah yang lebih baik.

Salah satu aktivis perempuan, Zuhra Alamyar meminta pemerintah serius. "Kami ingin pemerintah bertindak atas nama wanita-wanita ini -- yang menjadi korban kekerasan, yang menjadi korban pembunuhan. Kami menuntut pemerintah melakukan aksi serius untuk menghentikannya," kata dia, seperti dimuat Daily Mail.

Para demonstran yang berjumlah 50, kebanyakan perempuan dan beberapa pria, membawa spanduk putih bertuliskan, "Masyarakat Internasional: Mana perlindungan dan keadilan untuk perempuan Afganistan?".

Mereka berarak dari gedung Kementerian Urusan Perempuan Afganistan ke bundaran dekat gedung perwakilan PBB. Sebagian berseru, "hukum mati pada para pelaku kekerasan."

Afganistan adalah salah satu negara terburuk di dunia dalam hal kesetaraan hak perempuan. Selama rezim Taliban berkuasa, perempuan dilarang bekerja, sekolah, atau bahkan meninggalkan rumah tanpa didampingi saudara laki-laki.
Categories: ,
Subscribe to RSS Feed Follow me on Twitter!